July 1, 2025
image

Oleh: Marselino Akbar (*

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menjadi kekhawatiran besar di tengah dinamika perekonomian global dan nasional yang penuh tantangan. Perubahanlanskap industri akibat digitalisasi, perlambatan ekonomi global, serta dampak pasca-pandemi masih menyisakan ketidakpastian yang nyata di dunia ketenagakerjaan. Namun, di tengah situasi yang penuh tekanan ini, pemerintah pusat maupun daerah tidak tinggal diam. Langkah-langkah strategis telah disiapkan guna meminimalisasi dampak PHK terhadappekerja dan stabilitas sosial ekonomi. Dua di antara strategi utama yang kini menjadi sorotanpublik adalah pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK dan optimalisasi Program PadatKarya.

Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, menjadi salah satu kepala daerah yang secaraprogresif menginisiasi pembentukan Satgas PHK sebagai instrumen pencegahan PHK massal. Inisiatif ini patut diapresiasi karena mengedepankan pendekatan preventif dalammerespons persoalan ketenagakerjaan. Satgas PHK ini akan mulai bekerja saat perusahaanmasuk kategori kuning, yaitu ketika mulai terlihat indikasi persoalan internal yang bisaberujung pada PHK. Ini merupakan pendekatan berbasis deteksi dini yang sangat dibutuhkansaat ini.

Lebih jauh, Satgas PHK di Jawa Tengah akan terdiri dari unsur Dinas Ketenagakerjaan danTransmigrasi, serikat pekerja, serikat buruh, hingga perwakilan pengusaha. Langkah inimencerminkan upaya kolaboratif antar-pemangku kepentingan dalam menciptakan solusiyang tidak parsial. Dengan demikian, Satgas ini tidak hanya akan menjadi ruang negosiasiantara pekerja dan pengusaha, tetapi juga menjadi wadah konsultatif yang berperan aktifmencegah konflik industrial membesar.

Sementara itu, di sisi lain, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, juga menunjukkankepedulian nyata terhadap potensi dampak sosial dari meningkatnya PHK. Ia mendorongagar aparat kewilayahan, mulai dari camat, lurah hingga satlinmas, ikut menjaga stabilitassosial di wilayahnya. Pernyataan ini bukan sekadar seruan normatif, namun mencerminkanpemahaman mendalam bahwa peningkatan PHK seringkali berbanding lurus denganmeningkatnya risiko gangguan keamanan dan kriminalitas.

Farhan juga mendorong agar program padat karya kembali diaktifkan, sebagai solusi konkretjangka pendek. Program padat karya dinilai mampu menyerap tenaga kerja, khususnyamasyarakat terdampak PHK, dalam kegiatan produktif yang bernilai ekonomi. Denganpendekatan ini, masyarakat tetap memiliki daya beli, serta tidak terjerumus dalam situasikemiskinan ekstrem. Namun, efektivitas program padat karya akan sangat ditentukan olehketepatan sasarannya. Untuk itu, Wali Kota Bandung menekankan pentingnya memperkuatdata pengangguran dan penduduk terdampak, agar kebijakan ini benar-benar menyentuhkelompok yang membutuhkan.

Dari sisi pelaku usaha, dukungan terhadap langkah-langkah antisipatif ini juga datang dariKetua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani. Ia menyampaikanbahwa investasi pada sektor padat karya adalah kunci dalam menjaga stabilitasketenagakerjaan. Dalam jangka pendek, padat karya mampu menyerap tenaga kerja yang terdampak restrukturisasi industri. Sedangkan untuk jangka panjang, Kamdani menekankanpentingnya program reskilling dan upskilling bagi para pekerja agar mampu bertahan dalamera disrupsi industri yang cepat berubah.

Pernyataan dari tiga tokoh ini mencerminkan sinergi antara pemerintah daerah, aparatkeamanan, dan dunia usaha. Sinergi ini menjadi modal penting dalam membangun ekosistemketenagakerjaan yang lebih resilien. Kebijakan preventif melalui Satgas PHK harusdipadukan dengan kebijakan kuratif seperti program padat karya, dan ditopang dengantransformasi SDM melalui pelatihan keterampilan baru.

Tak hanya itu, dukungan regulasi dari pemerintah pusat juga semakin memperkuat inisiatifini. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah pusat telah menyampaikan komitmennya untukmendukung pelaksanaan program padat karya melalui penganggaran APBN maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan terus memperluasjangkauan program pelatihan kerja dan pelatihan wirausaha berbasis masyarakat. Hal inimembuktikan bahwa kebijakan di tingkat pusat dan daerah semakin sinkron dan responsifterhadap kebutuhan nyata di lapangan.

Kita juga patut mencermati bahwa gelombang PHK bukan hanya disebabkan oleh lemahnyadaya saing pekerja, namun juga oleh perubahan pola industri global. Oleh karena itu, penanganannya harus bersifat holistik. Satgas PHK tidak hanya bertugas mencegah PHK, tetapi juga dapat menjadi jembatan antara dunia usaha dan pemerintah untuk mencarikaninsentif atau solusi fiskal yang memungkinkan perusahaan tetap bertahan tanpa harusmemangkas tenaga kerja.

Program padat karya sendiri harus terus diperluas dan dikembangkan menjadi bagian daristrategi perlindungan sosial yang adaptif. Tidak hanya terbatas pada proyek infrastrukturringan, program ini juga dapat diperluas pada sektor digital, lingkungan, dan ekonomi kreatif. Dengan demikian, padat karya tidak hanya menjadi solusi darurat, tetapi juga sarana transisimenuju pekerjaan yang lebih berkelanjutan.

Di tengah tantangan yang tidak mudah, pemerintah telah menunjukkan keberpihakannyaterhadap nasib para pekerja. Satgas PHK dan Program Padat Karya adalah dua langkah nyatayang bukan sekadar retorika, melainkan kebijakan berbasis kebutuhan riil. Masyarakat perlutetap optimis bahwa gelombang PHK bukanlah akhir dari segalanya. Pemerintah memilikistrategi yang konkret dan kolaboratif untuk menjaga stabilitas ketenagakerjaan.

Kini saatnya seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, dunia usaha, hingga masyarakatsipil, bergerak bersama. Dengan semangat gotong royong dan inovasi kebijakan, Indonesia tidak hanya akan mampu melewati badai PHK, tetapi juga memperkuat fondasiketenagakerjaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

(* Penulis merupakan pemerhati Kebijakan Ekonomi dari Urban Catalyst Consultant

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *