June 16, 2025

Oleh: Ricky Rinaldi

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu bencana ekologis yang kerapmenjadi ancaman serius di Indonesia, terutama saat musim kemarau tiba. Namun, tahun 2025 ini, Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengendalikan karhutla berkat respon cepatdari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Keberhasilan ini bukan hanya hasil kebetulan, melainkan buah dari sinergi lintas sektor, kesiapsiagaan, serta kerja kolaboratif antara berbagaielemen seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, Polri, Manggala Agni, damkar, dan masyarakat.

Kepala BNPB, Letjen TNI Dr. Suharyanto, menyampaikan bahwa langkah cepat dan sigapmenjadi kunci utama dalam mengendalikan karhutla sebelum api meluas dan sulit dikendalikan. Ia menekankan pentingnya pemadaman sejak api masih kecil agar tidak berkembang menjadikebakaran besar. Ia juga mengingatkan semua pihak agar tetap waspada menghadapi musimkemarau dan tidak lengah dalam menjaga kesiapsiagaan.

Sikap proaktif ini terbukti efektif, seperti yang terjadi di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Karhutla yang melanda kawasan perbukitan Harau berhasil dikendalikan meskipunmenghadapi medan geografis yang sulit, yakni bukit terjal berbatu. Hanya sekitar dua hektarelahan yang terbakar berkat kerja cepat tim gabungan. Hal serupa terjadi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, di mana karhutla seluas 10 hektare berhasil ditangani tanpa meluas lebih jauh.

Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran aktif pemerintah daerah dan tim tanggap darurat di lapangan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyatakan bahwa keberhasilan pengendalian karhutla tersebut merupakan hasil kerja dari timgabungan yang terdiri atas Manggala Agni, BPBD, TNI, Polri, damkar, serta masyarakatsetempat. Ia menyebutkan bahwa pemadaman dilakukan sejak awal kemunculan titik api dan beberapa lokasi telah dinyatakan padam.

Abdul Muhari juga menyampaikan bahwa kesiapsiagaan pemerintah daerah harus diperkuat, terutama melalui patroli terpadu, edukasi kepada masyarakat, serta deteksi dini terhadap titik-titik panas. Ia menekankan pentingnya pelibatan masyarakat di wilayah rawan karena merekamemiliki peran strategis dalam pelaporan dini dan pemadaman awal. Pemerintah juga terusmengingatkan agar masyarakat tidak membuka lahan dengan cara membakar, karena tindakantersebut menjadi salah satu penyebab utama karhutla.

Data dari Kementerian Kehutanan mencatat bahwa hingga April 2025, total luasan karhutlanasional mencapai 3.207 hektare, terdiri dari 1.227 hektare lahan gambut dan 1.980 hektaretanah mineral. Provinsi dengan tingkat karhutla tertinggi adalah Riau (699 hektare), Kalimantan Barat (494 hektare), dan Aceh (296 hektare). Sementara itu, berdasarkan pemantauan satelitTerra/Aqua MODIS NASA, titik panas yang terdeteksi dari Januari hingga Mei 2025 sebanyak244 titik, mengalami penurunan 55,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama.

Penurunan ini menjadi indikasi keberhasilan pendekatan pencegahan yang kini lebih diutamakanoleh pemerintah. Strategi tidak lagi hanya reaktif, melainkan lebih terfokus pada deteksi dan respon dini. Teknologi pemantauan berbasis satelit kini berfungsi secara real-time dan menjadialat bantu penting bagi pemerintah daerah dalam menentukan lokasi rawan serta mengerahkansumber daya secara tepat waktu.

Keterlibatan TNI dan Polri dalam upaya pemadaman juga memberikan kekuatan tambahan, baikdari sisi jumlah personel maupun stabilitas keamanan saat proses penanggulangan berlangsung. Koordinasi lintas sektor yang baik terbukti mempercepat pemadaman dan meminimalkan risikodi lapangan.

Pemerintah pusat melalui kementerian terkait juga telah mewajibkan perusahaan-perusahaanyang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan untuk lebih aktif dalam menjaga lingkungandi sekitar wilayah konsesi mereka. Pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap wilayah tersebut juga terus ditingkatkan guna memastikan tidak ada pembiaran terhadap potensikebakaran.

Namun demikian, Abdul Muhari mengingatkan bahwa potensi karhutla masih tinggi, terutamapada periode puncak kemarau antara Juni hingga Agustus. Oleh karena itu, ia menilai bahwakesiapsiagaan harus terus dijaga dan ditingkatkan di seluruh lini.

Respon cepat, kolaborasi lintas sektor, pemanfaatan teknologi, dan partisipasi masyarakat kinimenjadi empat pilar utama dalam penanggulangan karhutla. Pemerintah tidak hanya hadir secaranormatif, tetapi juga tampil aktif dalam aksi nyata di lapangan. Kasus di Sumatera Barat dan Sumatera Utara dapat menjadi contoh nasional bahwa pengendalian karhutla yang efektifmembutuhkan sinergi antara semua elemen.

Dibandingkan masa lalu, kini paradigma penanganan karhutla semakin progresif. Kini paradigmatersebut mulai bergeser ke arah pendekatan yang lebih tanggap dan terencana. Pemerintah dan masyarakat mulai menunjukkan pola kerja yang saling melengkapi, saling mendukung, dan responsif terhadap ancaman.

Jika pola ini terus dipertahankan, Indonesia diyakini mampu mengurangi luas dan frekuensikarhutla secara signifikan. Meski tantangan ke depan masih besar baik karena perubahan iklim, tekanan ekonomi, maupun keterbatasan sumber daya landasan sistem tanggap bencana yang cepat dan kolaboratif telah mulai terbentuk dengan baik.

Respon cepat bukan hanya soal kecepatan waktu, tetapi juga mencerminkan keberpihakanterhadap keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan. Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi yang solid, pemerintah menunjukkan bahwa karhutla bisa dikendalikan asal ditanganidengan kesungguhan sejak dini.

*)Pengamat Isu Strategis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *